Perjuangan Sepanjang Hayat

Aku dipaksa menikah di usia yang masih sangat belia. Pernikahan yang malah memberiku malapetaka dan penderitaan. Aku bercerai karena dipoligami. Pekka memberiku pandangan untuk tetap tegar dan mampu menolak perlakuan buruk dari suami.

Sebenarnya aku adalah anak ketiga. Namun, kakak pertamaku meninggal dunia sebelum aku lahir, dan kakak keduaku meninggal saat aku masih bayi. Jadilah aku menjadi anak pertama, dengan empat orang adik. 

Namaku Sovia, aku lahir pada tahun 1960, di Desa Padang Tikar, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kuburaya di Kalimantan Barat yang mayoritas laki-lakinya bekerja sebagai nelayan. Begitu pula ayahku. Namun, selain melaut, beliau juga memiliki kebun kelapa. 

Sayangnya, kebun kelapa ini jaraknya beberapa kilometer dari rumah yang bila ditempuh dengan 1-2 jam berjalan kaki. Kebun ini akhirnya mengundang rasa iri, karena ayahku seorang pendatang dari kabupaten lain, tetapi berhasil membuka lahan. Sementara, orang lain yang merupakan warga asli kampungku tidak. Ketika aku baru satu tahun menikah, ada orang yang mengirim ilmu gaib dan membuat ayahku muntah darah. Akhirnya, ayahku meninggal dunia sebelum sempat dibawa ke Pontianak untuk berobat.

Sewaktu kecil aku hidup susah. Seringkali kami sekeluarga hanya memakan ikan asin dan nasi mentah karena orang tuaku tidak punya uang untuk membeli kayu bakar. 

 

Mengalami Pernikahan Dini

Aku dinikahkan oleh orang tua saat masih duduk di kelas 6 SD. Aku sempat menolak, dan mengutarakan keinginanku untuk tetap bersekolah. Namun, orang tuaku tidak mendukungku untuk sekolah. “Biar harta tidak lari,” begitu kata nenekku. Kalimat itulah yang menjadi alasan mengapa aku dinikahkan dengan pamanku sendiri, sepupu dari ayahku. Namun, aku menurut dan tidak mau membantah orang tua.

Setelah menikah, aku tidak mengerti bagaimana seharusnya menjadi istri. Aku hanya berusaha untuk selalu mendengarkan orang tua dan mertua. Namun, pernikahanku tidak bahagia. Kemalangan hidupku dimulai sejak aku menikah.

Aku tinggal bersama mertua, yang terletak di Desa Tasikmalaya yang berjarak sekitar 7 kilometer dari desa tempat orang tuaku. Mertuaku galak. Aku sering disuruh mengambil air dengan menggunakan tempayan di tempat yang jaraknya jauh. Aku harus mengambilnya ke dalam hutan, melalui jalan kecil berumput. Aku takut ada ular dan binatang buas.

Suamiku bekerja sebagai pemusik. Dia sering meninggalkanku, berkeliling ke mana-mana. Suamiku adalah anak bungsu, dan lelaki satu-satunya. Jadi, dia selalu dimenangkan oleh ibunya. Aku selalu mendapat perlakuan yang berbeda dengan penghuni rumah yang lain. Misalnya, ketika makan, mereka menikmati nasi yang masih hangat. Sementara, aku dikasih nasi yang sudah dingin. Selain itu, perbuatan dan kata-kata ibu mertuaku sering membuatku sakit hati. Percuma aku punya suami. Aku tidak bisa mengadu, atau mengubah keadaanku. Aku masih diberi uang oleh ibuku meskipun telah menikah, karena suamiku tidak pernah memberi nafkah. Uangnya malah dihabiskan untuk berfoya-foya. 

Aku tidak kunjung punya anak, meskipun telah enam tahun menikah. Pada 1975, aku mengangkat anak beretnis Cina, anak tetangga Mamak (ibuku). Perempuan itu ditipu oleh laki-laki yang ternyata sudah beristri. Ia memberikan anaknya pada Mamak, lalu Mamak memintaku untuk mengangkat anak itu, dengan harapan suamiku akan berubah bila telah punya anak. Entah apa pengaruhnya, dua tahun kemudian aku melahirkan putra pertamaku. Lima adiknya kemudian menyusul.

Aku berjualan cendol sagu di lapangan sepak bola, karena aku tidak pernah dinafkahi suami. Aku berjualan saat sedang musim pertandingan sepak bola. Di kampung seperti tempat tinggalku, hanya di saat keramaian seperti itulah, kami bisa berjualan. Selain itu, aku mencoba melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari menanam padi (nandor), dan panen dengan menggunakan ketam. Aku juga berjualan kue dengan berkeliling kampung, dan bekerja di sebuah studio foto. Semua aku lakukan untuk menopang kehidupanku dan anak-anak. Sampai sekarang, aku masih berjualan kue.

 

Sempat dipoligami 

Suatu hari di tahun 1986, Pak RT di lingkungan tempat tinggalku datang ke rumah dan berkata, “Saya melihat suami Ibu dengan perempuan lain. Banyak orang mengadu bahwa mereka punya hubungan dekat.” Satu minggu kemudian beliau datang lagi, melaporkan keresahan warga terhadap hubungan suamiku dengan perempuan itu.  

Aku mendatangi rumah orang tua perempuan itu. Saat itu, aku sedang hamil 8 bulan. Aku katakan kepada bapaknya: “Daripada anak Bapak berbuat dosa dengan suamiku, lebih baik dinikahkan saja. Tetapi, saya punya syarat. Nikahnya 40 hari setelah saya melahirkan.”

Sebelum mereka menikah, aku berpesan lagi agar perempuan itu berpikir ulang untuk menikahi suamiku, karena tabiatnya kurang baik. Namun, mereka tetap menikah. Tidak lama kemudian, suamiku mulai menggoda perempuan lain, padahal istri keduanya baru hamil. Istri kedua suamiku melihat sendiri, bagaimana laki-laki itu bersenda gurau dan mencolek-colek seorang perempuan yang berprofesi sebagai tukang jamu.

Aku memutuskan untuk menggugat cerai suamiku pada 1990. Aku pergi sendirian ke Pengadilan Agama dengan naik oplet, untuk mengurus perceraian. Awalnya suami tidak mau bercerai, tetapi aku sudah tidak mampu lagi hidup seperti itu. Sesampainya di pengadilan, saat bertemu dengan seorang perempuan, aku meminta untuk berkonsultasi di luar pengadilan, karena aku tidak mau bercerita di hadapan pengadilan. Aku malu untuk menceritakan aib suamiku. Aku tidak mau melibatkan orang lain dalam perceraianku karena tidak mau membuat keluarga malu.

 

Mengenal Pekka

Aku bergabung dengan Pekka pada 2004. Saat itu, temanku Khalijang, Lema, Rahma yang sudah bergabung lebih dulu dan memperkenalkanku kepada Kholilah dan Diana. Aku lalu terpilih untuk  menjadi sekretaris di kelompok karena saat itu hanya aku yang bisa baca tulis. 

Sebelum aku bergabung dengan Pekka, aku menarik diri dari pergaulan, karena aku janda. Untuk berteman saja aku takut. Masyarakat di sekitar tempat tinggalku mudah sekali berprasangka buruk. Misalnya, ketika anak laki-lakiku berkumpul bersama teman-temannya di rumah untuk belajar bersama, aku dibilang membuka rumah kos. Istilah rumah kos ini pada waktu itu merujuk ke hal yang tidak baik.

Bahkan ketika aku ke Jakarta untuk kali pertama di tahun 2013, anakku bercerita bahwa ada temannya yang mengatakan bahwa aku dijual ke Jakarta. Ada juga tetangga yang mencemooh demikian. Saat ini, anggapan miring itu telah hilang. Satu alasannya adalah karena mereka telah paham tentang Pekka. Selain itu, yang membuat pandangan itu berubah adalah saat ada bantuan untuk anak sekolah berupa beasiswa pendidikan melalui Pekka. Masyarakat kurang mampu yang anaknya masih sekolah mendapatkan baju seragam, tas, dan sepatu secara gratis.

Bagiku, perempuan tertarik untuk bergabung dengan Pekka karena selama mereka menjanda, mereka tidak bisa bebas untuk keluar rumah, meskipun ada keperluan. Kalau tidak ada Pekka, perempuan tidak bisa berkumpul dan keluar rumah.

Satu titik yang mengubahku adalah ketika mendapat Pelatihan Kepemimpinan dan Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat. Aku merasa materi yang aku dapatkan dari pelatihan-pelatihan tadi berguna bagi teman-teman yang telah menjadi janda, atau yang masih punya suami tetapi hidupnya susah. Pemikiran ini yang membuatku untuk tetap aktif mendampingi kelompok.

Satu hambatan yang aku temui saat berkegiatan bersama Pekka adalah saat melakukan advokasi dana desa untuk pelaksanaan Akademi Paradigta. Kepala Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya pada waktu itu bertanya, “Kenapa mesti perempuan yang disekolahkan? Kenapa perempuan keluar-keluar? Dana untuk Akademi Paradigta kenapa minta ke desa?”

Aku menjawab: “Desa lain mendukung karena ini sesuai dengan undang-undang tentang alokasi dana desa untuk pemberdayaan perempuan, tetapi kenapa Bapak tidak bisa mendukung?” Namun, kepala desa itu hanya bergeming dan tidak menerima advokasi dari kami.

Hambatan lain adalah dalam membentuk kelompok. Beberapa kali aku gagal karena sejak awal aku selalu menyampaikan bahwa: “Pekka tidak memberikan uang, tetapi ilmu dan pengalaman. Kita yang tadinya tidak kenal keluar rumah, hanya di dapur saja, tetapi bisa maju karena Pekka berupaya mengubah pola pikir perempuan agar menjadi perempuan yang maju.” Aku tidak pernah putus asa dalam mengajak orang untuk bergabung dengan Pekka. walaupun tidak berhasil, aku tetap semangat. Kelompok yang berhasil aku bentuk antara lain adalah kelompok Delima.

Perubahan yang paling terasa adalah, sebelum ada Pekka, perempuan tidak pernah dilibatkan di dalam kegiatan desa. Namun, sekarang, kami malah didorong untuk membuat proposal pengajuan kegiatan dan pengadaan barang. Rupanya, pihak desa telah menyadari pentingnya pemberdayaan perempuan, selain ada maksud politis di balik itu. 

Peran dalam gerakan 

Banyak pasangan di Kubu Raya yang menikah siri. Ketika mereka menikah, mereka tidak memikirkan pentingnya Surat Nikah. Sehingga, ketika mereka punya anak, mereka tidak bisa membuat Akta Kelahiran. Akhirnya, mereka menggunakan nama orang tua mereka untuk dicantumkan di dalam Surat Nikah.

Kami para anggota Pekka di Kubu Raya berinisiatif membantu mengajukan isbat nikah untuk mereka yang menikah setelah tahun 2010. Kami tidak berani mengajukan sidang untuk mereka yang menikah sebelum 2010, karena khawatir pernikahannya hanya main-main. Isbat nikah ini kami adakan pada 2018 awal, dan aku berperan sebagai pendata. 

Hal yang paling membahagiakanku adalah ketika aku berhasil mendampingi orang untuk membuat BPJS. Pernah satu hari, seseorang datang mengadu kepadaku karena suaminya sesak napas. “Di mana aku bisa cari uang untuk pengobatan suamiku?” tanya dia. Aku pun tergugah untuk membantunya. Dan setelah berhasil, ia datang ke rumah untuk mengucapkan terima kasih karena ia merasa terbantu.

Saat menolong orang lain, aku tidak memikirkan uang. Namun, yang terpenting adalah aku senang melakukannya, dan mereka juga merasa senang karena merasa terbantu. “Bu Sovia yang senang membantu orang lain tanpa pamrih,” begitulah aku ingin dikenang oleh masyarakat. 

Semua itu bisa aku lakukan berkat ilmu yang aku dapat sejak bergabung dengan Pekka. Aku tidak mungkin bisa membantu orang lain tanpa keahlian. Dan keahlian-keahlian itu aku dapatkan dari Pekka.

Sedikit demi sedikit, mulai ada perubahan di dalam diriku. Dulu aku pemalu, minder bila keluar rumah, dan cepat tersinggung. Sekarang, aku sudah berani untuk bertemu dengan teman-teman dan masyarakat. Aku pun sudah mau bergabung dengan gerakan PKK. Pada 2021, aku masuk dalam Pokja 2 PKK yang bergerak di bidang usaha pangan.

Hidupku Berubah, Diriku Terasah

Pola pikirku pun berubah. Apabila dulu aku selalu termakan omongan “harus patuh pada suami”, setelah bergabung dengan Pekka, nalar kritisku lebih berjalan dibandingkan dengan kalimat itu. “Suami yang mana? Yang perlakuannya seperti apa? Apa suami yang tidak bertanggung jawab masih harus dipatuhi?” Pola pikir ini aku tularkan pada anak-anakku, terutama yang laki-laki. Sejak mereka kecil, aku ajarkan untuk baik-baik dengan istri, menyayangi anak dan istri. Aku katakan bahwa kerja istri itu juga kerja suami. Mereka harus mau bekerja sama, jangan membedakan, jangan laki-laki itu tidak membantu.

Anak-anakku pun gembira melihat perubahanku. “Alhamdulillah, Mamak tidak seperti dulu lagi. Mamak banyak kemajuan, banyak teman, dan bahagia saat berkumpul dengan teman.” Saat ini, aku tinggal bersama dengan anak bungsu dan menantuku.

Aku benar-benar bersyukur telah bergabung dengan Pekka, bertemu dengan orang-orang yang berjasa di dalam hidupku seperti Dani Fitria, Diana, dan Kholilah. Mereka adalah fasilitator lapang yang sejak awal membentuk Pekka di Kalimantan Barat.

Aku selalu berpesan kepada perempuan yang aku temui, agar mereka meningkatkan pendidikan dan pengetahuan dan jangan sampai salah pilih suami. Mereka harus tahu latar belakang laki-laki yang akan mereka nikahi. Sementara, untuk perempuan kepala keluarga, mereka harus tegar dan bersemangat untuk berkelompok. Dengan berkelompok, kita bisa bertukar pikiran sehingga wawasan kita menjadi lebih luas.

Sepanjang hayat aku masih ingin terus berjuang. Semangatku tinggi untuk membantu perempuan. Kalau ada orang dalam kesulitan, ingin aku bantu sesuai kemampuan, dan bila aku tidak bisa, aku akan beritahu. Aku berharap semoga aku selalu sehat, lebih bersemangat, dan lebih optimistis menjalani hidup.

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Menjadi Perempuan yang Bermartabat: Kisah Dir

Menjadi Perempuan yang Bermartabat: Kisah Diri Suminah...

Leave a Comment