Tak Ada Pintu Tertutup bagi Kegigihan dan Ketekunan
Kisah Diri Fariza Ulfa

 

Aku sempat patah semangat ketika lulus SMA, dan berpikir tidak akan pernah bisa jadi sarjana. Tuhan tidak pernah menutup karunia-Nya bagi mereka yang pantang menyerah dan tekun dalam mewujudkan keinginan.

Aku lahir di tengah keluarga sederhana, di Aceh Besar pada pertengahan tahun 1992. Ayahku bekerja sebagai tukang bangunan, sedangkan ibuku mencari tambahan uang untuk keluarga dengan menjadi buruh tani. Mereka memiliki lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Dan aku adalah anak pertama mereka. Aku diberi nama Fariza Ulfa.

Di usia senjanya, ayahku tidak lagi bekerja sebagai tukang bangunan. Beliau bergabung bersama Ibu untuk bekerja sebagai buruh tani, menggarap sawah milik orang lain. Dari hasil kerja keras mereka inilah, mereka menyekolahkanku dan adik-adik.

Setelah lulus dari sebuah madrasah aliyah, aku sempat menganggur selama satu tahun. Aku sama sekali tidak berencana untuk melanjutkan kuliah, karena menurutku biayanya sangat tinggi. Bagaimana mungkin aku bisa kuliah, sementara penghasilan orang tuaku tidak menentu. Apalagi, aku memiliki 4 adik yang masih sekolah. Aku sempat bekerja di sebuah kios penatu. Namun, aku hanya bisa bertahan selama satu minggu. Aku tidak sanggup meneruskan pekerjaan itu.

Pada suatu hari, seorang kerabat bertanya mengapa aku tidak kuliah. “Bagaimana mungkin saya kuliah? Saya tidak punya biaya.” Aku balik bertanya.

“Daftar saja dulu. Nanti, kalau lulus rezeki pasti ada sendiri untuk biaya kuliah,” jawab dia.

Kerabatku ini adalah seorang mahasiswa di Universitas Syiah Kuala, dan ia membiayai sendiri kuliahnya. Keadaan ekonomi keluarganya tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki keluargaku. Namun, ia berhasil membuktikan bahwa Allah SWT pasti akan mempermudah jalan hamba-Nya yang mau berusaha.

Mendengar kisah perjuangan kerabatku untuk kuliah, aku memberanikan diri untuk mendaftar di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. Aku berhasil lulus ujian masuk, dan resmi menjadi mahasiswa Jurusan Tarbiyah Pendidikan Matematika. Hingga akhirnya aku berhasil memperoleh gelar sarjana pendidikan di tahun 2016. Alhamdulillah, begitu lulus kuliah, aku diminta menggantikan seorang teman untuk mengajar di sebuah sekolah swasta di Aceh Besar. Aku bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolah ini hingga sekarang.

Sebagian penghasilan dari mengajar aku sisihkan untuk menabung dan sebagian lagi aku pergunakan untuk membantu orang tuaku. Alhamdulillah dari hasil tabunganku, aku bisa sedikit membantu orang tuaku merenovasi dapur rumah kami. Setahun kemudian, aku sanggup membeli motor dari hasil tabunganku sendiri.

Berbekal Informasi yang Baik dan Data yang Akurat

Pada 2018, aku mendapat informasi seorang kerabat, Marzahera, mengenai Kelas Akademi Paradigta Indonesia (API) Desa Berdaulat yang diadakan di Center Pekka Aceh Besar. Ia alumni kelas Akademi Paradigta 2017. Aku merasa tertarik dan memutuskan untuk mengikuti kelas tersebut, karena yang belajar di sekolah itu adalah perempuan. Dari sekian banyak ilmu yang aku dapat dari kelas tersebut, ada satu yang paling aku ingat, yaitu: “Kita tidak perlu takut dalam menyuarakan satu hal, selama kita memiliki data yang akurat.”

Satu tugas yang harus kami lakukan dari sekolah ini adalah menemui kepala desa secara berkelompok untuk melihat qanun-qanun desa, juga Rencana Anggaran Pendapatan Pendapatan dan Belanja Gampong (RAPBG). Ketika tugas tersebut diberikan, kami semua merasa was-was. Kepala desa kami terkenal kurang ramah. Namun, kami memberanikan diri untuk bertemu dengan beliau. Setelah bertemu dan menyampaikan maksud kedatangan kami, ternyata beliau sangat ramah. Bahkan, data-data yang kami minta langsung beliau berikan. Dari tugas ini kami belajar, “Jika kita menyampaikan informasi dengan baik, maka kita akan mendapat respon yang baik pula.”

Usai belajar di Akademi Paradigta, aku langsung memutuskan untuk ikut bergabung dengan komunitas ini. Apalagi, keluargaku memberi dukungan kuat atas keputusanku. Tanggapan yang tidak baik justru datang dari beberapa tetangga. “Untuk apa bergabung di Pekka? Nanti yang punya suami, suaminya tidak ada lagi. Yang belum menikah, nantinya tidak akan menikah jika bergabung dengan komunitas ini.”

Aku bergeming. Anggapan itu sama sekali tidak aku hiraukan. Aku justru mengajak 5 orang temanku di desa (3 di antaranya adalah alumni API) untuk membuka les gratis bagi anak-anak di desa kami, Desa Tampok Blang, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Aceh Besar. Kami menjadikan Meunasah sebagai tempat untuk belajar bersama anak-anak. Meunasah merupakan sebuah bangunan yang dijadikan sebagai tempat ibadah, pendidikan, dan musyawarah di desa. Kami berbagi tugas. Ada yang mengajar membaca, menulis, dan berhitung. Kami bahkan membantu mereka mengulang pelajaran sekolah. Kami juga aktif melatih anak-anak itu untuk mengikuti lomba di tingkat dusun maupun kemukiman. Kemukiman adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas beberapa gampong (desa) yang mempunyai batas wilayah tertentu. Para orang tua pun menyuruh anak mereka untuk belajar bersama kami, mulai dari kelas 1  sampai 6 SD.

Kami mendapatkan bantuan dari desa untuk membeli peralatan belajar, papan tulis dan beberapa peralatan permainan anak-anak. Selain bantuan dari desa, kami juga mendapatkan bantuan sebesar Rp 500.000,00 dari pihak luar. Bantuan itu kami gunakan untuk membayar biaya operasional kegiatan les. Les gratis tersebut hanya berlangsung selama 1 tahun. Kami terpaksa menutup les tersebut karena kesibukan masing-masing.

Melihat kegiatan yang kami lakukan, Bapak Kepala Desa meminta kami untuk menjadi kader Posyandu lansia. Aku dan ketiga orang temanku langsung mengiyakan. Alhamdulillah, kami bisa menjalankan fungsi kami sebagai kader Posyandu lansia selama 2 tahun. Setelah itu, posisi kami diganti dengan kader lain karena terjadi pergantian kepemimpinan.

Beberapa tahun setelah mengajar les gratis, aku memutuskan untuk membuka bimbingan belajar (bimbel) untuk anak-anak SD di rumah. Setiap anak membayar Rp 10.000,00 setiap pertemuan. Aku mengajar anak-anak tersebut setelah mengajar di sekolah swasta. Jam mengajarku dimulai dari pukul 15.00-18.00 WIB. Setiap Senin, Rabu dan Jumat, anak-anak peserta bimbelku akan datang ke rumah. Jumlah anak yang aku ajar ada sekitar 3-8 orang anak. Sementara setiap Selasa dan Kamis, aku mengajar Kelas API di Kecamatan Indrapuri. Setiap malam setelah shalat magrib, aku juga mengajar mengaji untuk anak-anak di desaku. Kami belajar mengaji bersama sampai pukul 21.00 WIB. Dari kegiatan mengajar yang aku tekuni, aku bisa mempelajari beragam karakter dan berbagai cara dalam menghadapi keragaman karakter tersebut.

Aku selalu bersemangat bila diundang untuk melakukan kegiatan bersama Pekka. Termasuk ketika aku diundang untuk ikut dalam Pelatihan Jurnalisme Warga Pekka (JWP) melalui aplikasi Zoom, kira-kira tiga tahun yang lalu. Banyak sekali ilmu yang aku dapatkan dari pelatihan ini, seperti bagaimana menulis dengan baik, unsur-unsur yang harus ada di dalam sebuah tulisan, bagaimana mengambil gambar yang bagus, serta pengetahuan bahwa sebuah tulisan membutuhkan data yang benar.

Ilmu tersebut mendorongku untuk aktif mengirimkan tulisan-tulisanku mengenai kegiatan Serikat Pekka Aceh Besar. Hingga Desember 2023, Serikat Pekka Kabupaten Aceh Besar telah memiliki 2 buletin yang berisi 13 tulisan mengenai kegiatan serikat.

Pada 2022, aku dan 2 orang teman yang juga anggota serikat ditunjuk oleh Koordinator Pendidikan Akademi Paradigta untuk wilayah Aceh Besar, Ibu Keumalawati, untuk menjadi mentor di Kelas Akademi Paradigta Indonesia Kelas Kewirausahaan. Agar bisa menjadi mentor, kami bertiga mengikuti pelatihan di Wisma Hijau, Depok, Jawa Barat.

Sepulang dari pelatihan yang diadakan di bulan Agustus 2022, kami mengunjungi kantor camat Indrapuri untuk meminta izin melakukan sosialisasi Kelas API. Kami menjelaskan kepada Bapak Camat Indrapuri, Irda Junaidi, SE., MM, tentang Kelas API. Kelas tersebut bertujuan untuk melakukan peningkatan kapasitas perempuan melalui pembelajaran terstruktur. Camat Indrapuri sangat senang mendengar tentang kegiatan yang akan kami lakukan, ia mengizinkan kami untuk melakukan sosialisasi di wilayahnya. Ia juga menyarankan agar kami melakukan sosialisasi di kemukiman Jruek, karena menurutnya kemukiman tersebut letaknya strategis dan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami.

Setelah mendapatkan izin, kami menjumpai kepala desa untuk menyampaikan keinginan kami melaksanakan Kelas API di desanya. Dari beberapa kepala desa yang kami temui, ada kepala desa yang menyambut baik kedatangan kami dan bahkan mengirimkan peserta untuk mengikuti Kelas API. Namun ada juga kepala desa yang sampai hari ini belum pernah kami jumpai. Kami hanya bisa bertemu dan mendapatkan izin dari aparatur lainnya.  Ia tidak pernah bersedia hadir ketika kami undang. Karena peserta kelas belum mencukupi, kami pun menjumpai seorang kenalan untuk membantu kami mencari peserta kelas. Alhamdulillah, setelah beberapa kali melakukan sosialisasi, kami berhasil mengumpulkan 21 peserta yang berasal dari Desa Lambunot, Jruek Balee, Jruek Bak Kreh, dan Grot Blang. Semua peserta tersebut berhasil mengikuti kelas hingga selesai.

Tahun 2023, kami mulai melakukan sosialisasi kembali untuk Kelas API ke 2. Kami masih melakukan sosialisasi di Kecamatan Indrapuri, namun di desa yang berbeda. Untuk melakukan sosialisasi tersebut, kami memilih Desa Seulangai, Lampupok Baro dan Lampupok Raya karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari desa kelas sebelumnya. Kami mendapatkan respon yang sangat baik dari kepala desa setempat, mereka mengizinkan kami membuka Kelas API di desanya. Untuk peserta kelas, mereka meminta kami untuk mencari sendiri melalui beberapa kenalan. Alhamdulillah untuk kelas kedua kami berhasil mengumpulkan 39 peserta. Bahkan ada peserta yang berusia 68 tahun. Kami langsung berdiskusi dengan koordinator pendidikan, karena batas maksimal peserta untuk 1 kelas adalah 35 orang. Setelah berdiskusi kami memutuskan untuk tetap menerima 4 orang peserta tersebut. Peserta Kelas API tahap kedua ini sangat antusias. Mereka selalu hadir tepat waktu saat pelaksanaan kelas, mereka juga aktif dalam kegiatan diskusi.

Pada bulan April 2023, aku dan beberapa pengurus Serikat Pekka Aceh Besar berkunjung ke Kantor Bappeda Kabupaten Aceh Besar. Kunjungan ini bermaksud untuk membahas kegiatan Musyawarah Perempuan Nasional. Di tengah pertemuan ini, kami juga menyampaikan keluhan dari para perempuan yang ada di wilayah kami tentang sulitnya mengakses Dana Desa untuk pemberdayaan perempuan. Kami menjelaskan, Dana Desa tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas perempuan, seperti mendanai pelatihan menjahit, pelatihan membuat kue, pelatihan tentang teknik pemasaran, dan lain-lain.

Untuk menyampaikan kebutuhan peningkatan kapasitas perempuan ini, kami mengadakan Diskusi Kampung agar dapat berdiskusi secara langsung dengan pemerintah desa. Dalam acara ini, pemerintah desa memaparkan penjelasan alasan mereka untuk tidak merealisasikan ide-ide yang dilontarkan oleh perempuan. Namun, setiap kegiatan yang menyangkut Dana Desa telah diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup). Sehingga, pemerintah desa tidak bisa menggunakan Dana Desa di luar aturan tersebut.

Kami pun menyampaikan kepada Bappeda agar bisa meninjau kembali Perbup, sehingga program pemberdayaan perempuan bisa terlaksana. “Lebih baik jika ada persentase penggunaan Dana Desa untuk perempuan,” begitu usulan kami. Bappeda menyanggupi hal tersebut, asalkan Serikat Pekka Kabupaten Aceh Besar bisa bekerja sama demi mewujudkan hal tersebut.

Ketika kami kembali mengunjungi Bappeda Aceh Besar pada bulan November 2023, Kepala Bappeda, Ibu Rahmawati, menyampaikan bahwa usulan terkait persentase pengalokasian Dana Desa untuk pemberdayaan perempuan sedang dibahas. Beliau berharap, usulan tersebut sudah terealisasi dalam periode kepemimpinan berikutnya.

Walaupun baru lima tahun bergabung dengan Pekka, aku telah mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman berharga, terutama dari kisah hidup para perempuan kepala keluarga yang aku temui. Semua itu aku jadikan acuan untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Wawasanku juga semakin bertambah luas, terutama yang berkaitan dengan pemerintah, karena di Pekka kita diajarkan untuk berbicara sesuai dengan data dan fakta. Aku jadi belajar untuk melakukan riset, mencari informasi yang relevan, sebelum bertemu dengan pemerintah, baik di tingkat desa maupun kabupaten.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment