Tantangan itu Ada di Kampungku
Kisah Diri Amlia

Aku harus menjalani kehidupan yang sama dengan ibuku: menjadi tulang punggung keluarga. Meski demikian, aku tetap memiliki cita-cita: memperbaiki kualitas anak-anak di desa. Pekka memberiku jalan untuk menggapainya


Sejak berusia dua tahun, aku menyaksikan ibuku menjadi pencari nafkah. Aku, Amlia, anak ketiga dari delapan bersaudara yang lahir di Desa Winning, Kecamatan Pasar Wajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Sejak kecil aku tidak punya ayah. Konon, ayahku pamit untuk kembali ke kampung halamannya di tahun 1976, namun ia tidak pernah kembali. Saat itu, aku masih berusia delapan tahun dan adikku yang paling kecil berusia dua tahun. 

Ibu menafkahi kami dengan cara membuat roti dan minyak kelapa. Kemudian aku menjajakannya berkeliling kampung. Hasil berjualan ini kami pakai untuk membeli bahan makanan kami sehari-hari, juga membayar uang sekolah. Meski pas-pasan, aku berhasil sekolah hingga tamat SMA, bahkan aku sempat kuliah di Ambon selama dua semester. Sebenarnya aku ingin terus kuliah hingga lulus. Aku ingin membanggakan Ibu yang selama ini benar-benar menderita karena ditinggalkan Ayah. 

Namun, Tuhan berkata lain. Aku memilih untuk menikah di usia yang cukup muda, yakni 22 tahun dengan seorang laki-laki Ambon bernama Ahmad Zaki di tahun 1990 dan kemudian melahirkan seorang bayi perempuan di tahun 1991. Aku kembali ke kampung halamanku di Desa Winning setelah melahirkan dan tidak lagi meneruskan kuliah.

Suatu hari, Pak Wiladun, guruku semasa SMA dulu menawarkan pekerjaan sebagai pengajar di SMP Terbuka. Tentu saja, tawaran itu langsung aku terima. Banyak sekali rintangan yang aku hadapi selama mengajar, salah satunya adalah keterbatasan materi yang bisa aku ajarkan karena aku hanyalah seorang tamatan SMA. Namun, lama kelamaan proses pembelajaran yang aku berikan semakin berjalan mulus karena sudah ada modul yang terstruktur untuk diajarkan ke anak-anak. Pekerjaanku di SMP Terbuka ini memungkinkanku untuk mengembangkan desa, karena dengan begitu tidak banyak anak-anak yang menganggur. Sebagian besar anak-anak di desaku yang tidak melanjutkan sekolahnya. Mereka menghabiskan waktu mereka dengan menongkrong saja dan hanya sebagian kecil yang mau membantu orang tua mereka. Anak-anak itu harus menempuh perjalanan yang sangat jauh bila ingin bersekolah di SMP negeri, sekitar 17 sampai 18 km untuk sampai ke sekolah yang terletak di kota kecamatan. Belum lagi biaya sekolah yang juga besar. Oleh karena itu, aku bersyukur aku bisa membantu mereka bersekolah, sehingga aku bisa ikut berpartisipasi dalam membangun desa yang aku cintai ini.

 

Tantanganku Ada di Desaku

Kondisi wilayah tempat tinggalku sebenarnya sangat strategis, karena saat ini akses ke hal-hal vital seperti pendidikan dan kesehatan sudah tersedia dan mudah dijangkau masyarakat. Sayang, pembangunan sumber daya manusia (SDM) di desaku tidak berjalan dengan baik karena sebagian besar masyarakatnya masih menganggap bahwa sekolah itu tidak ada gunanya dan hanya buang-buang waktu saja. Terlebih bagi perempuan. Masih banyak orang  yang memiliki pemikiran bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena ujung-ujungnya hanya di rumah saja untuk mengurus rumah, serta anak dan suami. Pemikiran ini tentu menghambat perkembangan SDM di tempat tinggalku ini. Padahal menurutku, dengan kita bersekolah, kita sudah mengantongi modal utama untuk mencari pekerjaan yang lebih baik demi masa depan yang lebih baik pula. 

Di desaku, mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah bertani, berdagang, dan ada pula yang bekerja di sektor tambang. Hasil tani di desaku bermacam-macam, ada jagung, padi, dan sayur-mayur. Desaku juga terkenal dengan tambang aspalnya, namun sayang perusahaan tambang yang beroperasi di desaku memiliki sistem manajemen yang kurang stabil. Perusahaan tersebut kadangkala melakukan PHK kepada para pekerja yang berasal dari masyarakat lokal Desa Winning. Namun masyarakat lokal yang bekerja di sana juga tidak dapat melawan kebijakan perusahaan yang seperti itu karena mereka hanyalah pekerja kasar yang tidak memegang posisi strategis di perusahaan tersebut, di mana posisi strategis di sana ditempati oleh pihak luar yang bukan putra atau putri daerah. Tentu hal seperti itu merupakan salah satu dampak dari tidak maksimalnya pembangunan SDM di desaku. Andai saja pembangunan SDM di desaku dapat dimaksimalkan dan sekolah tidak dipandang sebelah mata di kalangan masyarakatnya, kemungkinan bagi putra dan putri daerah menempati posisi strategis yang dapat memperbaiki sistem manajemen di perusahaan tersebut pasti ada, sehingga kesejahteraan pekerjanya, terutama yang berasal dari Desa Winning dapat diutamakan dan tidak ada lagi pekerja yang tiba-tiba terkena PHK.

 

Pengalaman sebagai Anggota Pekka

Suatu siang di tahun 2002, saat aku baru pulang mengajar, aku melihat satu kegiatan di mana ibu-ibu berkumpul di baruga (bahasa daerah setempat untuk balai pertemuan desa). Aku bertanya kepada salah seorang yang ada di tempat itu, apa yang sedang mereka lakukan. Seorang perempuan memperkenalkan diri kepadaku. Emi namanya. Beliau adalah seorang pendamping lapangan (sekarang disebut sebagai fasilitator lapang) yang akan mendampingi ibu-ibu yang sedang berkumpul itu untuk bergabung dengan sebuah organisasi bernama Pekka. Aku merasa tertarik dan bertanya apa syaratnya bila aku ingin bergabung dengan Pekka. Emi menjelaskan, syarat untuk bergabung dengan Pekka adalah perempuan yang sudah tidak memiliki suami karena meninggal dunia, istri yang suaminya berpoligami, dan istri yang ditinggal suami merantau. Aku tertawa mendengarnya karena aku tidak punya suami saat itu. Emi langsung mengajakku untuk bergabung bersama ibu-ibu yang hadir bila aku tertarik. 

Aku benar-benar bersyukur karena memutuskan untuk ikut dalam kegiatan itu. Pelatihan Sapu Lidi, begitu kegiatan itu disebut oleh Emi. Aku benar-benar awam tentang ilmu yang diberikan di kegiatan itu, terutama tentang manfaat kita berkelompok. Aku langsung menceritakan kegiatan itu kepada Ibu dan keluarga begitu tiba di rumah.

Hal pertama yang aku suka dari organisasi ini adalah namanya: Pekka – Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga. Tanggapan yang begitu baik terhadap keberadaan orang-orang sepertiku membuatku tidak ragu untuk bergabung di dalamnya pada tahun 2002 silam. Setiap bulan kami mengadakan pertemuan. Ada banyak tanggapan miring terhadap kegiatan kami. “Oh, itu pertemuan janda-janda ya?” begitu kata mereka. Aku balik bertanya, “Memangnya mengapa kalau mereka janda?” Mereka tertawa. Aku langsung berkata dengan tajam, “Memangnya janda itu bahan ejekan?” mereka langsung diam, tidak bisa menjawab.

Setelah beberapa bulan berkegiatan dengan Pekka dan mengikuti berbagai macam pelatihan seperti pelatihan membuat sapu lidi dan public speaking, aku mengerti bahwa hidup yang kita jalani akan selalu penuh rintangan dan hambatan. Namun, semua itu tinggal bagaimana kita menjalaninya. Hidup tanpa suami membuatku tegar untuk terus berjuang demi anak-anakku. Aku mau tak mau harus bekerja keras hingga saat ini dengan mengajar di SMP Terbuka dan juga aktif berpartisipasi di pemerintah desa sebagai sekretaris desa, supaya anak-anakku tetap bisa makan seperti mereka yang masih punya ayah.

Memang, awalnya aku melihat diriku nelangsa seorang diri, meratapi nasib dan merasa menanggung penderitaan seorang diri. Namun, Pekka membuka wawasanku. Aku mendapat banyak ilmu dan teman. Melihat kehidupan ibu-ibu Pekka lainnya, aku merasa kembali bersemangat dan bergairah menjalani hidup, dan tidak lagi mengeluh.

Aku merasa Tuhan sudah memberikan jalan agar aku mampu menghidupi anak-anakku, meski tanpa suami. Dulu aku bercerai di usia pernikahan satu tahun, usia yang masih seumur jagung kalau kata kebanyakan orang. Aku yang dulu menikah hanya atas dasar cinta, tentu belum paham kalau ternyata pernikahan tidak seindah yang kubayangkan. Pernikahanku terlalu banyak dicampuri oleh mertua dan suamiku tidak pernah membelaku, semua hal yang kulakukan selalu dianggap salah sehingga aku merasa sangat tertekan pada waktu itu dan akhirnya memutuskan untuk bercerai saja. Padahal saat itu, aku sedang mengandung anak pertamaku.

 

Filosofi Pondasi Rumah

Enam tahun pasca bercerai, aku memutuskan untuk menikah lagi. Dari pernikahanku yang kedua, aku memiliki seorang anak perempuan. Kemudian suamiku meninggal dan mau tak mau aku harus menghidupi kedua anakku seorang diri. Saat ini, kedua anak perempuanku telah menikah dan memiliki kehidupannya masing-masing. Aku benar-benar mampu membuktikan kepada orang-orang yang dulu menertawakan status jandaku, bahwa janda juga bisa berdaya. Walaupun tanpa suami, aku tidak pernah meminta kepada orang lain, dan ini yang membuatku bangga luar biasa. Terkadang aku heran, mengapa selalu ada orang yang memandangku sebelah mata, hanya karena aku berbeda. Namun, aku berdoa semoga mereka berhenti menjatuhkanku ke lubang yang membahayakan aku dan keluargaku. Bagiku, rumah harus dibangun di atas tanah dengan pondasi yang kuat, sehingga rumah itu akan tetap berdiri kokoh bila ada angin badai datang. Bila rumah dibangun di atas pasir, dan tiba-tiba angin ribut datang, maka rumah itu akan hancur berantakan.

Pemikiran ini aku dapatkan setelah bergabung dengan Pekka. Selain itu, banyak sekali hal yang dapat aku terapkan bersama orang lain atau kelompok. Pertemuan demi pertemuan berjalan menarik ketika masing-masing anggota menceritakan kondisi mereka. Ada kalanya mereka bahkan menangis waktu bercerita tentang kehidupan mereka. Kisah mereka tidak akan pernah bisa aku lupakan.

 

Menjadi Kader Pekka

Pengalamanku bersama Pekka semakin menarik setelah aku diangkat menjadi kader Pekka. Aku memang sejak awal bergabung dengan Pekka di tahun 2002 sudah sangat aktif berkegiatan dan akhirnya aku diangkat menjadi kader. Semenjak di Pekka, ilmu yang aku dapat bertambah banyak melalui pelatihan-pelatihan yang aku ikuti sebelum menjadi kader, dan ilmu itu bisa aku bagi kepada orang lain. Salah satu caranya adalah dengan pergi membuka kelompok baru dan menjadi fasilitator untuk Pelatihan Visi Misi dan Motivasi Berkelompok. 

Kelompok pertama yang aku dampingi adalah kelompok di Pasar Wajo. Pada waktu itu aku baru saja selesai melakukan sosialisasi tentang organisasi Pekka. Tiba-tiba ada seorang ibu yang menanyakan apakah Pekka akan memberi bantuan berupa uang. Ibu itu meminta Pekka untuk membeli atap seng untuk rumahnya. Aku menjelaskan dengan lugas, bahwa Pekka bukanlah organisasi yang membagi uang. 

Memang, banyak ibu yang beranggapan bahwa Pekka adalah organisasi yang memberi bantuan berupa uang, sehingga mereka tidak mau membuang waktu untuk berkumpul bila tidak diberi uang. Bagi mereka, waktu adalah uang. Pelan-pelan aku memberi mereka pemahaman, bahwa dalam organisasi Pekka kita tidak membagi uang, melainkan ilmu. Dengan ilmu yang didapat, kita bisa mendapatkan uang. Ibu-ibu itu langsung terdiam mendengar penjelasanku.

Pengalaman tak terlupakan yang aku alami selama memfasilitasi kelompok baru adalah ikatan pertemanan yang aku jalin bersama teman-teman sangat erat, bahkan melebihi ikatan dengan saudara sendiri. Aku sangat dekat dengan Kak Yusnia dan Kak Baralia selaku fasilitator lapang dan aku sering berbagi cerita suka dan duka, senang dan susah dengan mereka. Selalu ada canda tawa dan tukar pikiran dengan mereka. Aku menganggap hal ini sangat luar biasa dan tidak akan pernah aku lupakan seumur hidup.

 

Menjadi Perwakilan Dusun

Tahun 2017, aku dicalonkan menjadi perwakilan Dusun Kabungka untuk kepengurusan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Desa Winning. Dalam sebuah Musyawarah Desa (Musdes) yang diadakan di kantor desa dan dihadiri oleh Kepala Desa, tujuh orang dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD), perangkat desa, serta tokoh masyarakat diputuskan bahwa setiap dua dusun harus mengirim dua perwakilannya untuk menjadi calon pengurus BUMDes. Desa Winning terdiri dari tiga dusun, jadi pada saat itu akan dipilih enam pengurus yang dipilih langsung oleh penduduk Desa Winning. 

Ketika aku terpilih sebagai pengurus bumdes, Kepala Desa Winning mengatakan bahwa sebagai orang yang biasa berorganisasi, aku pasti menguasai pengelolaan keuangan. Sehingga beliau mengangkatku menjadi bendahara BUMDes. Masyarakat Desa Winning, keluarga, dan anak-anak sangat mendukungku untuk menjadi pelayan publik di desa kami. Sejak saat itu, aku bertugas untuk mengontrol pelaksanaan keuangan yang ada di desa bagi masyarakat marjinal. Selain itu, aku bertugas untuk memantau pelatihan publik serta menjadi motivator dan penggerak masyarakat untuk menjadi pelaksana publik yang berkualitas, dengan mendorong mereka untuk aktif menyampaikan pendapatnya di dalam forum dan bersama-sama mencari solusi untuk setiap masalah yang ada di desa.

 

Harapan dan Impian

Aku berharap, aku bisa mencapai kondisi kehidupan yang lebih baik. Aku juga berharap, Pekka Buton akan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Aku yakin para fasilitator lapang, kader, dan ibu-ibu Pekka Buton tidak akan menyerah dan tidak akan berhenti. Kami akan terus menghidupkan Pekka sampai akhir hayat. Kebutuhan untuk mengembangkan kelompok, yang selama ini mati suri, akan segera hidup kembali. Kekecewaan dan kegagalan dalam berbagai usaha, juga kebahagiaan yang telah aku alami, adalah tahap kehidupan yang merupakan pelajaran berharga bagiku khususnya, juga bagi para perempuan kepala keluarga.

 

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment