Perputaran Roda Kehidupan Adalah Pelajaran Paling Berharga
Kisah Diri Marlin Matheos

Aku tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba dipecat dari pekerjaan yang aku cintai. Namun, ada hikmah di balik pemecatan itu. Pekka memberiku pengalaman lebih banyak dan lebih berharga.

Marlin Matheos adalah nama yang diberikan orang tuaku. Aku lahir di Desa Pinogaluman, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Pada 2023, aku genap berusia 46 tahun. Aku anak ke-2 dari 3 bersaudara. Ayahku bekerja sebagai buruh tani, dan ibuku tinggal di rumah, menangani segala pekerjaan domestik. Meskipun hidup kami pas-pasan, tetapi orang tuaku ingin anak-anaknya bisa bersekolah.

Aku mampu mengikuti pelajaran dengan baik, hingga aku lulus SMK. Banyak kejadian semasa aku sekolah yang bisa kujadikan kenangan, seperti kebiasaanku untuk tidak sarapan, sehingga aku sering merasa pusing di sekolah. Kejadian lainnya adalah rasa malas untuk ke sekolah ketika aku duduk di bangku SMP, karena aku takut kepada guru bahasa Inggris. Beliau akan memukul telapak tanganku keras-keras bila aku salah mengucapkan kata dalam bahasa Inggris.

Aku pun mengalami cinta monyet ketika bersekolah di sebuah SMK di Manado. Aku jatuh hati pada seorang kakak kelasku. Ia adalah ketua OSIS di sekolahku waktu itu. Kami pun berpacaran. Namun, kami berpisah ketika ia lulus.

Sejak kecil, aku bercita-cita menjadi guru. Aku termotivasi oleh seorang guru yang setiap hari lewat di depan rumahkuk. Pakaiannya selalu rapi. Sayangnya, orang tuaku tidak mampu membiayai kuliahku. Akhirnya aku memutuskan untuk melamar pekerjaan, dan diterima sebagai pegawai di sebuah toko pakaian di Manado. Gaji yang aku dapatkan cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan orang tua. Saat itu, orang tuaku sudah tidak mampu lagi bekerja.

Pekerjaan Suamiku Mengundang Cibiran

Tanpa terasa, sudah 7 tahun aku bekerja di toko pakaian itu. Hingga suatu sore, ketika dalam perjalanan pulang setelah bekerja, aku bertemu dengan laki-laki. Penampilannya amat berwibawa, bak seorang perwira Angkatan Laut. Awalnya, aku tidak mengenalinya. Namun, setelah aku perhatikan, ternyata ia adalah pacarku waktu sekolah dulu.

Aku malu untuk mendekatinya, tetapi ia memelukku dan mengajakku untuk pergi ke rumah tantenya. Ia memang dibesarkan oleh tantenya ini. Orang tuanya tinggal di kampung yang sama dengan orang tuaku. Aku mengikuti ajakannya, meskipun masih mengenakan seragam toko.

Kami kembali menjalin hubungan, dan memutuskan untuk menikah pada tahun 2000. Aku membawa kabar ini kepada orang tuaku, yang menyambutnya dengan baik. Setelah menikah, suamiku kembali bekerja sebagai pelaut. Aku memutuskan untuk berhenti bekerja, dan berfokus mengurus rumah tangga. Kami dikaruniai 4 orang anak, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Anak pertamaku telah kuliah, sementara anak bungsuku masih duduk di kelas 5 SD.

elama suamiku bekerja, semua pekerjaan rumah menjadi tanggung jawabku. Profesinya sebagai pelaut membuatnya hanya bisa pulang setiap 5 tahun. Meski demikian, aku bisa mengambil gaji di kantornya saban bulan. Cibiran dari tetangga pun berdatangan. “Mending cari pengganti yang lain, daripada setengah mati berjuang sendiri,” seorang dari mereka berkata. Aku tidak memedulikannya. Aku tetap menjalani kehidupanku bersama anak-anak.

Ketika suamiku pulang pada 2008, anak sulung kami memintanya untuk tidak kembali melaut. Ia ingin ayahnya hadir di tengah-tengah kami setiap hari. Suamiku lantas memutuskan untuk mencari pekerjaan di kampung. Kebetulan, pada saat itu, terjadi pemekaran Desa Buntalo. Desa tempat tinggalku pun menjadi Desa Buntalo Timur. Suamiku diangkat langsung oleh Kepala Desa sebagai sekretaris desa. Aku pun diangkat menjadi wakil ketua tim penggerak PKK Desa Buntalo Timur.

Aku kemudian terpilih menjadi Kader Pembangunan Manusia (KPM) desa, ketika diadakan rapat PKK di Kecamatan Lolak. Tugasku adalah mendata semua keluarga penerima manfaat program pemerintah, seperti ibu hamil, balita, kelompok lanjut usia, dan keluarga yang tidak mendapat air bersih, juga tidak memiliki jamban keluarga. Tugasku yang lain adalah hadir dalam kegiatan Posyandu untuk mengkoordinir pembuatan makanan tambahan bagi balita.

Saat melakukan pendataan, aku mendapati bahwa ternyata masih banyak warga yang belum memiliki jamban keluarga. Mereka akan menumpang di rumah tetangga yang sudah memiliki jamban bila hendak BAB. Hatiku pun tergugah untuk mendata sebaik mungkin, agar mereka segera mendapatkan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pemecatan Berbuah Berkah

Pada 2018, tiba-tiba saja aku dipecat dari jabatan KPM. Sebelumnya, suamiku pun dimutasi dari jabatan sekretaris desa menjadi Kaur Umum. Posisi sekretaris desa kemudian diisi oleh pilihan kepala desa yang baru. Kami berdua tidak memprotesnya, karena bagi kami, jabatan bukanlah milik pribadi yang harus dipertahankan.

 

Aku dan suami tengah membincangkan pemecatan kami ketika telepon genggamku berdering. Aku segera mengangkat telepon, dan mendengar seseorang memperkenalkan diri: “Halo, Bu Marlin. Saya Firta Nurcita Awali. Saya koordinator Pendidikan Akademi Paradigta. Saya mendapat nomor Ibu dari Bu Christine, salah satu anggota Pekka. Apakah sore ini Ibu bisa datang ke pertemuan Pekka?”

Christine adalah sahabatku, maka aku langsung mengiyakan ajakan untuk datang ke pertemuan tersebut. Kami pun sepakat untuk bertemu di Center Pekka Nyiur Melambai Bolaang Mongondow. Firta dan teman-teman telah menunggu ketika aku tiba. Firta pun segera memulai rapat.

Rapat tersebut berisi sosialisasi tentang Pekka, yang disampaikan oleh seorang kader. Aku merasa tidak tertarik, karena aku tidak termasuk kategori perempuan kepala keluarga. Setelah kader tersebut selesai menyampaikan pemaparannya, Firta segera menambahkan, bahwa tidak hanya janda yang bisa bergabung dengan Pekka. Perempuan yang masih bersuami pun bisa. Penjelasan dari Firta membuatku tertarik, karena aku pikir akan banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa aku dapatkan bila bergabung. Rapat itu ditutup dengan pembentukan kelompok. Aku terpilih sebagai ketua salah satu dari dua kelompok yang terbentuk saat itu. Kelompok itu kemudian kami beri nama “Matahari”.

Kegiatanku sebagai ketua kelompok tidak mengganggu rutinitasku sebagai ibu rumah tangga. Aku tetap bisa menjalankan tugasku, baik di rumah maupun di organisasi Serikat Pekka Bolaang Mongondow. Aku kemudian mendaftarkan diri sebagai peserta Akademi Paradigta Indonesia (API) Change Maker angkatan pertama, pada 2020. Kelas ini bertujuan untuk melatih perempuan agar mampu menjadi pemimpin, mulai dari lingkup keluarga hingga desa. Tujuan lainnya adalah untuk membuka wawasan mereka mengenai kepemimpinan perempuan. Di desaku, perempuan tidak pernah dianggap ketika diadakan pengambilan keputusan, baik dalam keluarga maupun di pemerintahan desa.

 

Setelah lulus dari API Change Maker, Firta menawariku untuk menjadi mentor API Change Maker. Firta menilai aku sanggup untuk menjadi mentor, berdasarkan aktivitasku selama mengikuti kelas API Change Maker. Aku menerima tawaran itu dengan senang hati. Hingga saat ini, telah ada 4 angkatan yang lulus dari API Change Maker, dan semua lulusannya adalah perempuan hebat.

Ada banyak kegiatan Pekka yang aku ikuti. Di antaranya adalah: KLIK PEKKA di desaku. Kegiatan ini dilaksanakan di beberapa desa di 3 kecamatan yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondwo, yang bekerja sama dengan dinas-dinas terkait, seperti: Dinas Sosial, BPJS Kesehatan, dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. KLIK PEKKA bertujuan mempermudah masyarakat dalam mengurus dokumen identitas diri seperti KTP, Kartu Keluarga, dan Akta Kelahiran. Selain itu, aku juga terlibat dalam Forum Pemangku Kepentingan, dan Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan dan Perkawinan Anak.

Pengembangan Wilayah yang Penuh Tantangan

Ada banyak tantangan dalam memperkenalkan Yayasan PEKKA dan komunitas Pekka, termasuk program-programnya. Ketika hendak membentuk kelompok di Desa Buntalo Timur, misalnya. Aku bersama teman-teman harus berhujan-hujanan, juga naik-turun rumah warga untuk melakukan sosialisasi. Sebelum mendatangi warga, kami berkunjung ke rumah Kepala Desa untuk meminta izin beliau. Beruntung, beliau telah mengetahui Pekka, sehingga memberi izin bagi kami untuk membentuk kelompok. Kepala Desa Buntalo Timur mengetahui Pekka dari suamiku, yang pernah menjabat sekretaris desa.

Kami berhasil membentuk kelompok, yang beranggotakan 10 orang. Hingga saat ini, kelompok tersebut masih aktif melakukan kegiatan simpan-pinjam. Namun, jumlah uang simpanan mereka masih sedikit, karena terhambat pandemi COVID-19 dan kemarau berkepanjangan. Aku menjadi tertantang untuk membangkitkan semangat mereka agar mau tetap berkelompok dan mengaktifkan kegiatan simpan-pinjam demi kesejahteraan anggotanya.

Tidak hanya dalam membentuk kelompok, dalam mencari calon peserta untuk API Change Maker juga sangat sulit. Aku pergi ke desa-desa, menghadap kepala desa mereka untuk bisa aku wawancarai. Ada kepala desa yang bersedia menemuiku, tetapi ada juga yang menolak dengan alasan sibuk, atau sulit mengumpulkan ibu-ibu karena mereka sibuk bekerja di kebun, seperti yang terjadi di Desa Baturapa 2.

 

Kami berkeliling desa, ke rumah-rumah warga untuk menemui ibu-ibu di desa itu. Letak rumah yang saling berjauhan membuatku dan Firta menumpang sepeda motor yang dikendarai seorang perangkat desa yang bersedia menemani kami. Aku dan Firta sama-sama tidak dapat mengendarai sepeda motor, sehingga kami nekat naik sepeda motor bertiga dengan perangkat desa itu. Kerja keras ini membuahkan hasil. Kami berhasil mendapatkan 26 peserta untuk kelas API Change Maker.

Sayangnya, program ini harus berhenti di tengah jalan, karena tiba-tiba jumlah peserta yang hadir menurun drastis, yakni hanya 6 orang. Jumlah ini tidak memenuhi persyaratan kelas. Aku tidak tahu, apa alasan mereka untuk tidak melanjutkan kegiatan belajar di API Change Maker. Padahal, Ibu Kepala Desa sangat mendukung. Beliau bahkan ikut serta mengumpulkan peserta, dan bersedia duduk sebagai akademia di kelas.

Kami memutuskan untuk menutup kelas di Desa Baturapa 2, dan pindah ke Desa Bolaang 1. Namun, peserta hanya hadir pada pertemuan pertama. Di pertemuan kedua, tidak ada satu pun akademia yang muncul. Firta memutuskan untuk memindahkan kelas ke Desa Bolaang Induk.

Sebelum memulai kelas di Desa Bolaang Induk, kami menghadap kepala desa untuk meminta izin penyelenggaraan kelas API Change Maker. Beliau meminta kami untuk menjelaskan tentang Yayasan PEKKA, komunitas ibu-ibu pekka, juga API Change Maker. Setelah mendengar penjelasan kami, beliau langsung mengumpulkan aparat desa dan lembaga perempuan di desa itu, dan langsung meminta mereka untuk menjadi peserta API Change Maker. Ada 20 orang yang terdaftar dalam kelas yang diadakan di Desa Bolaang Induk.

Kami pun jadi bersemangat. Kegiatan belajar-mengajar berjalan lancar. Kami tidak memedulikan jarak yang harus kami tempuh, dengan kendala hujan dan tidak ada sepeda motor yang dapat kami sewa. “Kalau bukan kita, siapa lagi?” Semboyan itu yang kami pegang teguh.

Semangat kami pun terpompa oleh beberapa akademia yang meskipun telah berusia lanjut, tetapi masih memiliki semangat tinggi untuk belajar. Mereka pun tidak patah semangat menghadapi kendala ketika harus membuat karya tulis. Kami, para mentor, membantu mereka untuk menuliskan cerita yang mereka tuturkan, sehingga karya tulis mereka dapat diselesaikan tepat waktu.

 

Acara wisuda untuk API Change Maker diadakan secara hibrid di 27 provinsi pada 23 November 2023. Aku bahagia sekali melihat wajah ceria para akademia. Di Desa Bolaang Induk, acara wisuda ini dihadiri Asisten 1 Bupati Bolaang Mondondow, Dinas Sosial, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi, serta para kader Pekka yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow. Seorang akademia membacakan kesan-kesannya selama mengikuti API Change Maker, dan menyatakan akan membangun gapura di pintu masuk desanya serta membuat hiasan di sepanjang jalan desa dengan memanfaatkan botol bekas, dalam rangka menyambut Hari Natal.

Setelah selesai API Change Maker, aku dan teman-teman kembali membantu masyarakat, terutama dalam mengurus dokumen identitas diri. Secara perlahan, masyarakat memandang bahwa Pekka adalah komunitas yang luar biasa, karena mereka telah merasakan langsung dampak dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

Pekka juga berdampak pada diriku, juga keluargaku. Aku kini lebih berani dan percaya diri, serta mengerti bagaimana membantu masyarakat untuk mengurus dokumen identitas diri. Sementara di keluarga, suami dan anak-anakku sudah mau turun tangan mengerjakan pekerjaan domestik. Mereka menyadari, bahwa semua tugas yang ada di rumah adalah tanggung jawab bersama anggota keluarga, bukan hanya tanggung jawab ibu.

Bila mengingat masa lalu, ternyata, ada hikmah di balik pemecatanku dari jabatan KPM. Apabila aku tidak dipecat, aku tidak akan menjadi seperti sekarang. Aku bisa mendapat banyak pengalaman, bisa bolak-balik ke Jakarta naik pesawat, dan mendapat banyak teman dari seluruh daerah di Indonesia. Semua itu bisa aku dapatkan setelah aku bergabung dengan Pekka.

Semoga Pekka tetap berjaya, dan mampu memperjuangkan hak-hak masyarakat marjinal menuju Indonesia Emas 2045.(*)

Bagikan Cerita Ini

Cerita Terkait

Leave a Comment